Ketika ada sebagian terapis yang
mengatakan bahwa “Bekam adalah pengobatan holistic (menyeluruh)”, saya
tersentak taget dan tergerak untuk menulis hal ini agar masyarakat tidak
dibodoh-bodohi dengan pernyataan tersebut. Sebagai seorang muslim harus
mengkaji ilmu-ilmu yang diperolehnya, terlebih ilmu pengetahuan (saint) yang
biaya disibut ilmu eksak.
Waktu dulu masih jenjang SMA (Sekolah
Menengah Atas) diajarkan bahwa ilmu pegetahuan harus bersifat logis (ilmiah,
sesuai fakta-fakta), sistematis, dan obyektif. Maksud dari logis adalah bisa
diterima dengan akal fikiran yang sehat sesuai data-data secara fakta dan
ilmiah. Kalau kita mengaku muslim, berarti berpedoman pada Al Qur’an dan As
Sunnah serta kejadian alam yang harus dikaji lagi tentang proses kejadian
sesuatu yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Selanjutnya adalah
sistematis, yaitu runtunan dari bagian-bagian yang menjadi satu sehingga
menghasilkan pola (sesuai yang akan diinginkan) sehingga bermanfaat untuk ummat
manusia. Yang ketiga adalah obyektif, merupakan sifat yang kebenarannya
disepakati secara umum atau universal. Obyektif berlawanan dengan subyektif,
yang hanya merasa benar sendiri dan bertolak belakang dengan kebenaran secara
universal (ijma’). Sifat subyektif akan menyebabkan seseorang menjadi ta’asub
(atau ‘asobiah = fanatik), sehingga dampaknya orang yang fanatik menutup
mata, menutup telinga dan menutup hati akan datangnya kebenaran.
Dalam menyikapi permasalahan kita dianjurkan
untuk bersikap bijak, atau okyektif. Imam Bukhori pernah mengatakan dalam kitab
yang berjudul “Usul Ats-Tsalatsah” (Tiga Landasan Pokok Yang Harus
Diketahui Setiap Muslim) bahwa “Babul ‘ilmu qobla al qouli wal ‘amali”,
yang maksunya adalah sebelum orang itu berucap dan berbuat maka harus diilmui
terlebih dahulu. Sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Qur’an
Surah Muhammad ayat 19, yang artinya: ”Maka ketahuilah (ilmuilah), bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang wajib diibadahi dengan benar) melainkan
Alloh, dan mohonlah ampun dari dosamu.” Dari alasan tersebut bisa dijadikan
hujjah (alasan) untuk mengilmui sesuatu terlebih dahulu sebelum kita
berucap dan beramal, sehingga tidak menjadikan kita berfikir fanatik dan nafsu
serta untuk kepentingannya saja.
Mari kita berfikir obyektif sebelum
bertindak secara obyektif ! Kalau Anda seorang muslim, apakah Al Qur’an dan As
Sunnah menafiqan ilmu pengetahuan . . . ? Alloh Subhanahu wa Ta’ala
berfirman dalam Qur’an Surah Al Mujaadilah ayat 11, yang artinya “Niscaya
Alloh akan meninggilkan orang-orang yang beriman di antara-mu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Hal ini, bahwa orang
mencari ilmu (pengetahuan) atau yang diberikan ilmu pengetahuan (oleh Alloh
Subhanahu wa Ta’ala) mendapat derajat di sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Misal dalam
kehidupan sehari-hari proses memahami (cara pandangan) sesuatu seseorang akan
melihat yang akan dimasukkan ke dalam otak sehingga menghasilkan prasangka (dzon).
Alloh ‘Azza wa Jalla menegur kepada orang-orang yang beriman (mu’min) di dalam
Qur’an Surah Al Hujuraat ayat 06 dan 12 untuk memeriksa dengan teliti jika
orang (fasik) menyampaikan suatu berita dan menghindari prasangka, menggunjing
dan mencari-cari kesalahan sebagian orang lain (saudara seIslam dan seiman). Maka
tabayyunlah wahai saudara-saudaraku !
Di dalam otak juga berfungsi sebagai database
atau penyimpan data dan pengingat, yang selanjutnya akan disaring (filter) oleh
qolbun (hati pengertian secara abstrak, jadi bukan liver atau hepar).
Alloh ‘Azza wa Jalla menegur kepada kita tentang larangan bersikap sombong (dan
fanatik) di dalam firman-NYA Qur’an Surah Al Israa’ pada ayat 36. Karena sikap
sombong akan merugikan diri sendiri dan orang lain, misalnya menolak kebenaran
dan merendahkan orang lain. Setelah informasi difilter oleh qolbun, maka
selanjutnya berupa perilaku. Di dalam perilaku mencakup sikap dan perbuatan.
Setelah membahas sedikit tentang kaidah ilmu
pengetahuan, selanjutnya saya akan kembali kebahasan apa yang mendorong saya menulis
hal ini, yaitu tentang ilmu pengobatan (kedokteran) Nabi Shallallohu ‘alaihi
wasallam atau yang biasanya disebut dengan ath thibbun nabawi. Banyak
ulama’ terdahulu yang menulis tentang bahasan ath thibbun nabawi, salah
satunya yang masyhur dikalangan kita adalah Syaikh Ibnul Qayyim al Jauzziyah
yang menulis kitab “Zaadul Ma’ad” dan di dalam salah satu babnya menulis
bahasan tentang ath thibbun nabawi. Kedokteran Nabi (ath thibbun
nabawi) merupakan suatu pengobatan yang menggunakan metode (cara, atau alat)
dan dibenarkan oleh Nabiyulloh Muhammad ibn ‘Abdillah Shallallohu ‘alaihi
wasallam dan diikuti oleh para sahabat sampai ulama’ (ilmuwan muslim) sekarang
yang bersifat Ilahiah (wahyu), alamiah (herbal) dan ilmiah (berdasarkan Al Qur’an
dan As Sunnah, ijma’ ulama’ dan fakta-fakta yang syar’i hasil penelitian oleh para
ilmuwan). Maka dari itu ath thibbun nabawi merupakan pengobatan secara holistik
(secara menyeluruh, selain jasmaninya tapi juga rohaninya).
Sekarang banyak pemahaman-pemahaman yang
anti terhadap ilmu kedokteran medis dengan alasan ilmu medis dari Negara Barat.
Mari kita telaah lebih kebelakang tentang kejayaan Islam di Eropa, Apakah di
masa tersebut Islam anti terhadap ilmu pengetahuan ? Terkait tentang ilmu
kedokteran, Siapa yang memulai adanya alat-alat kedokteran ? Menejemen siapa
yang dipakai dalam manejemen rumah sakit & klinik-klinik sekarang ? Adakah
kontribusi Islam terhadap ilmu pengobatan ? Mari membuka mata kita untuk mempelajari
tarikh (sejarah) kejayaan Islam masa lalu.
Langsung saja kepembahasan tentang hijamah
(bekam). Secara mudahnya, hijamah merupakan salah satu dari ath
thibbun nabawi untuk mengeluarkan darah yang terkandung kotoran atau racun
(toxin, oxidant) dengan metode menyatat kulit bagian luar (epidermis).
Tapi sebagian dari terapis atau praktisi hijamah dianggap sebagai “pengobatan
yang terbaik satu-satunya” dan bahkan yang mengatakan “hijamah adalah
pengobatan holistik”, sehingga timbul rasa anti terhadap ilmu kedokteran medis.
Pemikiran-pemikiran seperti itu bermula dari pemahaman-pemahaman untuk
dijadikan kepentingan nafsu dan duniawi saja, makanya mereka menghalalkan MLM (multi
level marketing). Pemikiran-pemikiran seperti itu yang akan membodohi
masyarakat umum, kebanyakan para terapisnya mengandalkan salah satu diagnosa saja,
misalnya diagnosa telapak tangan atau irodologi atau diagnosa yang hal itu di
dalam kedokteran medis dijadikan diagnosa pendukung atau tambahan saja. Jadi,
siapa yang berilmu (pengetahuan) dalam menangani pasien (si sakit)?
Kalau kita mengkaji lagi tentang sejarah
bekam, maka akan kita mengetahui bekam tersebut dari mana. Terkait dengan bekam
adalah sunnah, itu masih perlu dikaji lagi tentang hadits-hadits shahihah. Bukankah
kita diwajibkan untuk menuntut ilmu (bagi muslim dan muslim), maka dari mari
mencari ilmu agar tidak dibodoh-bodohin orang jahil. Pesan saya kepada yang
membaca tulisan ini, “Jangan merasa benar sebelum mengetahui yang salah. Bersikaplah
bijak dalam menyeleseikan masalah. Meskipun kata keBENARan dan pemBENARan
berasal dari kata yang sama, tapi artinya berbeda dan bahkan berlawanan. Kebenaran
bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah, serta ijma’ ulama. Sedangkan pembenaran
bersumber dari nafsu dan kejahilan.” Semoga tulisan ini bisa bermanfaat
dan dapat menambah wawasan kita. Para ulama’ dahulu luar biasa dalam menuntut
ilmu, dan bahkan untuk memastikan hadits yang didengar itu shahih atau tidak
mereka rela berjalan bermil-mil untuk bertabayyun langsung, sedangkan
kita sibuk mengoreksi pernyataan sebagian orang yang tidak sefaham dengan
dirinya tanpa bertabayyun meskipun di zaman sekarang (bukan zaman unta
lagi) mudah untuk memperoleh kendaraan. Saya berharap untuk bisa tabayyun
jika ada perbedaan pemahaman (kritik dan saran) tentang ath thibbun nabawi,
agar tidak menimbulkan fitnah. Sementara hanya ini dulu yang bisa saya paparkan
ke pembaca yang budiman, dan semoga bisa dilanjutkan lagi tentang masalah ath
thibbun nabawi.
Wallohuta’ala a’lam bish shouwwab . . .
. !!
TAHUKAH
ANDA . . . . ??
Sekolah
kedokteran pertama yang dibangun umat Islam adalah sekolah Jindi Shapur di Baghdad.
Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai
dekan sekolah kedokteran itu. Pendidikan
kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era
kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka,
seperti Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibn Sina,
Ibn Rushd, Ibn Al-Nafis, dan Ibn Maimon.
Rumah
Sakit terkemuka pertama yang dibangun umat Islam berada di Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid dari
Dinasti Umayyah pada 706 M. Namun, rumah sakit terpenting yang berada di pusat
kekuasaan Dinasti Umayyah itu bernama Al-Nuri.
Rumah sakit itu berdiri pada 1156 M, setelah era kepemimpinan Khalifah Nur Al-Din Zinki pada 1156 M.
By: Choir At-Tiriy (pengelola “Griya
SHIHAT”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar