Total Tayangan Halaman

Selasa, 28 Januari 2014

LANDASAN UTAMA PENGOBATAN ALA NABI (ATH-THIBBUN NABAWI)

Di zaman ini semakin banyak cara-cara pengobatan yang bermunculan, baik yang bersifat tradisional maupun modern, baik dalam negeri maupun luar negeri, baik yang berasal dari bahan-bahan alami (herbal) maupun kombinasi bahan-bahan kimia. Selain itu, kebanyakan masyarakat juga sibuk dengan mencari sesuatu yang dianggap bisa membuat kebahagiaan. Akan tetapi semua itu adalah kesemuan belaka, karena kebahagian bukan diukur dari banyaknya harta, istri yang cantik dan jabatan yang tinggi. Kebahagiaan yang hakiki hanyalah di hati (qalbu), yang bisa memahami ciptaan-Nya dan mengenal Sang Pencipta (Al Khaliq). Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, “Bila qalbu ini tidak terikat dengan Allah Ta’ala, maka dia terikat dengan yang lainnya.” Kalau cinta dalam dirinya itu selain kepada Allah maka cintanya kepada Allah Ta’ala lepas, kalau dalam dirinya itu cinta kepada Allah Ta’ala maka seluruh bagian dari pada kehidupan dunia dibangun cintanya karena Allah Ta’ala. Itulah yang benar.
Nabiyulloh Ibrahim ‘alaihissalam berdo’a supaya diberikan kebahagian (yang hakiki) dan kesehatan dengan hati yang sehat/bersih (qalbin saliim), yaitu bersih dari menyekutukan Allah (syirik) dan kemunafikan (nifaq), seperti dalam firman-Nya: “Pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang sehat (bersih).” [QS. Asy-Syu’ara: 88-89]
Menurut Ibnul Qayyim Al Jauziyah: “Qolbin saliim (hati yang sehat/bersih) adalah qolbu yang selalu terikat kepada Allah Ta’ala, jauh dari segala macam fitnah subhat (samar-samar), pemikiran yang menyimpang, ajaran sesat, jauh dari syahwat (penyimpangan hawa nafsu) dan segala macam bentuk penyimpangan lainnya.”
Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam juga bersabda, Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim)
            Hal terpenting dalam memahami arti kehidupan ini adalah aqidah yang lurus, yang bersumber dari Al-Qur’an As-Sunnah. Seperti halnya dengan Ath-Thibbun Nabawi (pengobatan ala Nabi), maka pelakunya harus memahami tentang landasan utama yaitu Aqidah Ath-Thibbun Nabawi. Adapun yang dijelaskan oleh Abu Bakr Jabir al-Jazairi: Aqidah adalah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara  umum oleh manusia berdasarkan akal, wahyu dan fithrah. (Kebenaran) itu dipatrikan di dalam hati, diyakini kesahihan dan keberadaannya dan ditolak segala sesuatu yang bertentangan dengan kebenaran itu”. Sehingga, aqidah di dalam prinsip kesehatan itu harus selalu bersifat ilmiah, dapat diukur (rasional) dan diterima oleh akal sehat serta segala metode yang bertentangan dengan prinsip kebenaran itu harus ditolak. Adapun pengobatan yang Islam kenalkan dengan ath-Thibbun Nabawi, yaitu pengobatan yang menggunakan tuntunan (metode) Nabiyulloh Shallallohu ‘alaihi wasallam. Maka seluruh pengobatan yang pernah ditunjukkan dan diajarkan oleh Rasulullah Shallallohu ‘alaihi wasallam, baik berupa alat, metode (cara), obat-obatan, maka itulah Ath-Thibbun Nabawi.
            Kalau semua merujuk kepada Yang Maha Tahu, tentulah manusia akan merasakn fitrahnya sebagai ‘abdullah (hamba Allah Ta’ala). Maka kebahagiaan dan kesehatan yang hakiki akan dapat dirasakan manfaatnya, sehingga bisa melaksanakan kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan sebagai hamba-NYA. Karena Allah Ta’ala lebih mencintai kepada hamba-hamba mukmin yang kuat dalam segala hal, baik dalam hal ukhrowi maupun duniawi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, dan pada masing-masingnya keduanya terdapat kebaikan.” (Hadits Riwayat Muslim)

By: Choir At-Tiriy 

Senin, 27 Januari 2014

Benarkah Metode Bekam (Hijamah) merupakan Pengobatan Holistik . . . . ?

Ketika ada sebagian terapis yang mengatakan bahwa “Bekam adalah pengobatan holistic (menyeluruh)”, saya tersentak taget dan tergerak untuk menulis hal ini agar masyarakat tidak dibodoh-bodohi dengan pernyataan tersebut. Sebagai seorang muslim harus mengkaji ilmu-ilmu yang diperolehnya, terlebih ilmu pengetahuan (saint) yang biaya disibut ilmu eksak.
Waktu dulu masih jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas) diajarkan bahwa ilmu pegetahuan harus bersifat logis (ilmiah, sesuai fakta-fakta), sistematis, dan obyektif. Maksud dari logis adalah bisa diterima dengan akal fikiran yang sehat sesuai data-data secara fakta dan ilmiah. Kalau kita mengaku muslim, berarti berpedoman pada Al Qur’an dan As Sunnah serta kejadian alam yang harus dikaji lagi tentang proses kejadian sesuatu yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Selanjutnya adalah sistematis, yaitu runtunan dari bagian-bagian yang menjadi satu sehingga menghasilkan pola (sesuai yang akan diinginkan) sehingga bermanfaat untuk ummat manusia. Yang ketiga adalah obyektif, merupakan sifat yang kebenarannya disepakati secara umum atau universal. Obyektif berlawanan dengan subyektif, yang hanya merasa benar sendiri dan bertolak belakang dengan kebenaran secara universal (ijma’). Sifat subyektif akan menyebabkan seseorang menjadi ta’asub (atau ‘asobiah = fanatik), sehingga dampaknya orang yang fanatik menutup mata, menutup telinga dan menutup hati akan datangnya kebenaran.
Dalam menyikapi permasalahan kita dianjurkan untuk bersikap bijak, atau okyektif. Imam Bukhori pernah mengatakan dalam kitab yang berjudul “Usul Ats-Tsalatsah” (Tiga Landasan Pokok Yang Harus Diketahui Setiap Muslim) bahwa “Babul ‘ilmu qobla al qouli wal ‘amali”, yang maksunya adalah sebelum orang itu berucap dan berbuat maka harus diilmui terlebih dahulu. Sebagaimana Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Qur’an Surah Muhammad ayat 19, yang artinya: ”Maka ketahuilah (ilmuilah), bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang wajib diibadahi dengan benar) melainkan Alloh, dan mohonlah ampun dari dosamu.” Dari alasan tersebut bisa dijadikan hujjah (alasan) untuk mengilmui sesuatu terlebih dahulu sebelum kita berucap dan beramal, sehingga tidak menjadikan kita berfikir fanatik dan nafsu serta untuk kepentingannya saja.
Mari kita berfikir obyektif sebelum bertindak secara obyektif ! Kalau Anda seorang muslim, apakah Al Qur’an dan As Sunnah menafiqan ilmu pengetahuan . . . ? Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Qur’an Surah Al Mujaadilah ayat 11, yang artinya “Niscaya Alloh akan meninggilkan orang-orang yang beriman di antara-mu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” Hal ini, bahwa orang mencari ilmu (pengetahuan) atau yang diberikan ilmu pengetahuan (oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala) mendapat derajat di sisi Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Misal dalam kehidupan sehari-hari proses memahami (cara pandangan) sesuatu seseorang akan melihat yang akan dimasukkan ke dalam otak sehingga menghasilkan prasangka (dzon). Alloh ‘Azza wa Jalla menegur kepada orang-orang yang beriman (mu’min) di dalam Qur’an Surah Al Hujuraat ayat 06 dan 12 untuk memeriksa dengan teliti jika orang (fasik) menyampaikan suatu berita dan menghindari prasangka, menggunjing dan mencari-cari kesalahan sebagian orang lain (saudara seIslam dan seiman). Maka tabayyunlah wahai saudara-saudaraku !
Di dalam otak juga berfungsi sebagai database atau penyimpan data dan pengingat, yang selanjutnya akan disaring (filter) oleh qolbun (hati pengertian secara abstrak, jadi bukan liver atau hepar). Alloh ‘Azza wa Jalla menegur kepada kita tentang larangan bersikap sombong (dan fanatik) di dalam firman-NYA Qur’an Surah Al Israa’ pada ayat 36. Karena sikap sombong akan merugikan diri sendiri dan orang lain, misalnya menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Setelah informasi difilter oleh qolbun, maka selanjutnya berupa perilaku. Di dalam perilaku mencakup sikap dan perbuatan.
Setelah membahas sedikit tentang kaidah ilmu pengetahuan, selanjutnya saya akan kembali kebahasan apa yang mendorong saya menulis hal ini, yaitu tentang ilmu pengobatan (kedokteran) Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam atau yang biasanya disebut dengan ath thibbun nabawi. Banyak ulama’ terdahulu yang menulis tentang bahasan ath thibbun nabawi, salah satunya yang masyhur dikalangan kita adalah Syaikh Ibnul Qayyim al Jauzziyah yang menulis kitab “Zaadul Ma’ad” dan di dalam salah satu babnya menulis bahasan tentang ath thibbun nabawi. Kedokteran Nabi (ath thibbun nabawi) merupakan suatu pengobatan yang menggunakan metode (cara, atau alat) dan dibenarkan oleh Nabiyulloh Muhammad ibn ‘Abdillah Shallallohu ‘alaihi wasallam dan diikuti oleh para sahabat sampai ulama’ (ilmuwan muslim) sekarang yang bersifat Ilahiah (wahyu), alamiah (herbal) dan ilmiah (berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, ijma’ ulama’ dan fakta-fakta yang syar’i hasil penelitian oleh para ilmuwan). Maka dari itu ath thibbun nabawi merupakan pengobatan secara holistik (secara menyeluruh, selain jasmaninya tapi juga rohaninya).
Sekarang banyak pemahaman-pemahaman yang anti terhadap ilmu kedokteran medis dengan alasan ilmu medis dari Negara Barat. Mari kita telaah lebih kebelakang tentang kejayaan Islam di Eropa, Apakah di masa tersebut Islam anti terhadap ilmu pengetahuan ? Terkait tentang ilmu kedokteran, Siapa yang memulai adanya alat-alat kedokteran ? Menejemen siapa yang dipakai dalam manejemen rumah sakit & klinik-klinik sekarang ? Adakah kontribusi Islam terhadap ilmu pengobatan ? Mari membuka mata kita untuk mempelajari tarikh (sejarah) kejayaan Islam masa lalu.
Langsung saja kepembahasan tentang hijamah (bekam). Secara mudahnya, hijamah merupakan salah satu dari ath thibbun nabawi untuk mengeluarkan darah yang terkandung kotoran atau racun (toxin, oxidant) dengan metode menyatat kulit bagian luar (epidermis). Tapi sebagian dari terapis atau praktisi hijamah dianggap sebagai “pengobatan yang terbaik satu-satunya” dan bahkan yang mengatakan “hijamah adalah pengobatan holistik”, sehingga timbul rasa anti terhadap ilmu kedokteran medis. Pemikiran-pemikiran seperti itu bermula dari pemahaman-pemahaman untuk dijadikan kepentingan nafsu dan duniawi saja, makanya mereka menghalalkan MLM (multi level marketing). Pemikiran-pemikiran seperti itu yang akan membodohi masyarakat umum, kebanyakan para terapisnya mengandalkan salah satu diagnosa saja, misalnya diagnosa telapak tangan atau irodologi atau diagnosa yang hal itu di dalam kedokteran medis dijadikan diagnosa pendukung atau tambahan saja. Jadi, siapa yang berilmu (pengetahuan) dalam menangani pasien (si sakit)?
Kalau kita mengkaji lagi tentang sejarah bekam, maka akan kita mengetahui bekam tersebut dari mana. Terkait dengan bekam adalah sunnah, itu masih perlu dikaji lagi tentang hadits-hadits shahihah. Bukankah kita diwajibkan untuk menuntut ilmu (bagi muslim dan muslim), maka dari mari mencari ilmu agar tidak dibodoh-bodohin orang jahil. Pesan saya kepada yang membaca tulisan ini, “Jangan merasa benar sebelum mengetahui yang salah. Bersikaplah bijak dalam menyeleseikan masalah. Meskipun kata keBENARan dan pemBENARan berasal dari kata yang sama, tapi artinya berbeda dan bahkan berlawanan. Kebenaran bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah, serta ijma’ ulama. Sedangkan pembenaran bersumber dari nafsu dan kejahilan.” Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan dapat menambah wawasan kita. Para ulama’ dahulu luar biasa dalam menuntut ilmu, dan bahkan untuk memastikan hadits yang didengar itu shahih atau tidak mereka rela berjalan bermil-mil untuk bertabayyun langsung, sedangkan kita sibuk mengoreksi pernyataan sebagian orang yang tidak sefaham dengan dirinya tanpa bertabayyun meskipun di zaman sekarang (bukan zaman unta lagi) mudah untuk memperoleh kendaraan. Saya berharap untuk bisa tabayyun jika ada perbedaan pemahaman (kritik dan saran) tentang ath thibbun nabawi, agar tidak menimbulkan fitnah. Sementara hanya ini dulu yang bisa saya paparkan ke pembaca yang budiman, dan semoga bisa dilanjutkan lagi tentang masalah ath thibbun nabawi.
Wallohuta’ala a’lam bish shouwwab . . . . !!  

TAHUKAH ANDA . . . . ??
Sekolah kedokteran pertama yang dibangun umat Islam adalah sekolah Jindi Shapur di Baghdad. Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah yang mendirikan kota  Baghdad mengangkat Judis Ibn Bahtishu sebagai dekan sekolah kedokteran itu.  Pendidikan kedokteran yang diajarkan di Jindi Shapur sangat serius dan sistematik. Era kejayaan Islam telah melahirkan sejumlah tokoh kedokteran terkemuka, seperti  Al-Razi, Al-Zahrawi, Ibn Sina, Ibn Rushd, Ibn Al-Nafis, dan Ibn Maimon. 
Rumah Sakit terkemuka pertama yang dibangun umat Islam berada di Damaskus  pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid dari Dinasti Umayyah pada 706 M. Namun, rumah sakit terpenting yang berada di pusat kekuasaan Dinasti Umayyah itu  bernama Al-Nuri. Rumah sakit itu berdiri pada 1156 M, setelah era kepemimpinan  Khalifah Nur Al-Din Zinki pada 1156 M.


By: Choir At-Tiriy (pengelola “Griya SHIHAT”)